Thursday, March 6, 2008

Dari Lubang Tambang ke alat elektronik (bag 2)

Siti Maemunah, dalam Forum


Siapa tahu, colton ataupun timah untuk menyoder papan sirkuit dalam handphone anda, berasal dari negara yang dilanda perang sipil sejak lama, macam Congo, atau dari kawasan dengan kerusakan lingkungan parah, macam Bangka Belitung di Indonesia.

Tahun 1940-an, Congo memasok timah kedua dunia. Saat ini, ia hanya memasok sekitar 3 persen timah dunia. Yang terbanyak dari propinsi Kivu Selatan dan Kivu utara, kawasan yang dikontrol oleh kelompok-kelompok pemberontak bersejata. Sepanjang tahun 1998 hingga 2003, negara di benua Afrika ini, dilanda perang sipil. Sekitar 4 juta orang meninggal akibat kekerasan, penyakit dan kelaparan semasa perang sipil.

Di Congo, timah dikeruk dari tambang-tambang di propinsi kaya mineral, dibawah pendudukan kelompok-kelompok bersenjata yang sedang bertikai, mulai dari tentara nasional Congo, Tentara Pembebasan Rwanda, kelompok RCD Goma, milisi Hutu dan banyak lagi. Mereka mendanai makanan hingga peluru dengan mengeruk Cobalt, Tantalum dan Timah. Di North Kivu, pembunuhan, perkosaan, kejahatan perang, kejahatan melawan kemanusiaan adalah hal biasa sepanjang perang sipil.

Laporan Global Witness tahun 2005, menyebutkan sebagian besar bijih timah dari Congo dikapalkan melalui Kenya dan Tanzania dan berakhir ke pabrik Thaisarco di Thailand dan Malaysia Smelting Company. Keduanya masuk dalam 10 daftar perusahan pemasok timah terbesar di dunia. Setiap tahun, sekitar 30 ribu ton bijih timah Thaisarco dikapalkan dari Congo. Dan perusahaan Samsung, Motorola dan LG adalah pelanggan mereka.

Fakta lain juga diungkap dalam laporan. Sepanjang tahun 1998 hingga 2000 misalnya, Afrimex - perusahaan dagang bermarkas di London, membeli 165 ribu kilogram coltan. Di tahun 2000, Afrimex membayar sekitar Rp 18 ribu kepada kelompok pemberontak RCD Goma, untuk setiap kilogram coltan yang mereka dapat. Kelompok ini, juga mengutip pajak hingga 8 persen dari seluruh pembelian coltan di kawasan itu. Mereka menggunakan uang tersebut untuk biaya perang.

Sementara bijih Timah, banyak diambil dari Wakilele, Kivu. Disini ada tambang Bisie, dengan 57 lubang tambangya. Walikale kaya mineral, mulai permata, kobalt, kasiterit (bijh timah), koltan dan bauksit. Dilaporkan bahwa kelompok bersenjata - macam Brigade 85, berhasil mengutip pajak lebih Rp 3,1 Milyar dari perusahaan tambang. Mereka juga melakukan intimidasi, menarik pajak haram dari para penambang lokal, serta penyiksaan dan perkosaan.

Tak jarang, para penambang lokal itu pulang dengan perut lapar. Mereka harus menggali dengan tangan dan jari mereka, begitu keluar dari lubang, kelompok bersenjata menyambut dengan acungan senjata. Kadang mereka merampas bijih timah yang didapat.

Perang Sipil yag terus berlanjut, dibiayai dari pengerukan sumber daya alam, mendorong Perserikatan bangsa-bangsa mengirim sebuah panel ahli ke Congo, guna meneliti ekploitasi haram sumber daya alam disana. Mereka temukan kaitan antara perang, eksploitasi sumber daya alam dan kepentingan ekonomi nasional dan internasional.

Laporan penelitian itu keluar tahun 2003, dengan daftar panjang 85 perusahaan dan individu, yang ditemukan terlibat langsung dengan pendanaan dan bencana kemanusiaan dan ekonomi disana. Diantaranya, ada Afrimex, Finmining hingga Malaysia Smelting Corporation.

Jika Congo sarat perang sipil, lain lagi dengan Indonesia, pemasok timah terbesar kedua di dunia. Sebagian besar timah dari Indonesia berasal dari pulau kecil, Bangka dan Belitung (Babel). Sejarah timah di kawasan ini tak kalah kelam.

Sekitar tahun 1970-an, ada 500 orang terbunuh karena operasi militer terhadap penyelundup timah, sementara 500 orang lainnya mati di penjara. Jauh sebelum itu, timah telah menjadi komoditas dagang yang memicu peperangan. Baik sejak jaman kerajaaan Palembang hingga penjajahan. Tak terhitung korban yang jatuh.

Sekarang, hampir seluruh daratan pulau-pulau tersebut memilki konsesi tambang skala besar. Diantaranya, 111 ijin pertambangan milik PT Timah. Juga perusahaan tambang asing dan ribuan unit penambang Inkonvensional (TI), yang menambang dengan sebaran sangat luas. Empat tahun lalu saja, tercatat ada 6507 unit TI.

Sudah ratusan tahun penambangan timah di Babel, dan warisannya tak main-main. Para penambang ini menggali dimana-mana, termasuk daratan, fasilitas publik – macam jalan raya dan sekolah, sungai, pesisir dan laut, hutan produksi juga hutan lindung. Akibatnya, lingkungan rusak berat.

Di tahun 2004 saja, ada 10 sungai tercemar dan bertambah 2 lagi dua tahun kemudian akibat maraknya pertambangan. Belum lagi sekitar 60 persen luasan hutan kawasan ini rusak, dimana 25 persennya rusak berat.

Sepuluh tahun lalu, ada sekitar 887 lubang bekas tambang yang dibiarkan begitu saja, dikabarkan ini sama dengan luasan 0,1 persen luasan pulau. Bayangkan berapa tambahannya saat ini - sepuluh tahun kemudian, jika penambang TI meningkat pesat, khususnya sejak ijin menambang dipermudah.

Ironisnya dimusim kemarau, sekitar 90 persen lubang-lubang tambang tersebut digunakan airnya oleh warga untuk kegiatan harian. Itu karena sumber-sumber air banyak yang kering, seiring kerusakan lingkungan disana.

Diduga lubang-lubang tersebut menyumbang terhadap tingginya kasus penyakit demam berdarah di kawasan ini. Ada 11,5 persen penderita demam berdarah di sana tahun 2006.

Lahan pertanian juga mengalami tekanan berat. Sepanjang tahun 2000 hingga 2005, ada sekitar 50 ribu ha kebun lada berubah kawasan keruk. Tak cuma kebun lada, lahan pertanian lainnya juga berubah fungsi. Apalagi ada sekitar 32 ribu petani banting stir menjadi penambang. Tak heran jika panen beras dan palawija menurun. Jika ini terus berlangsung, ketahanan pangan pulau-pulau ini akan ambruk.

Rangkaian cerita diatas, saya rekam sepanjang mengikuti sebuah Konferensi Meja bundar bertajuk “Make IT Fair” di Brussel, minggu lalu. Ada pengacara, perusahan elektronik raksasa dan asosianya, Asosiasi perusahaan tambang, Serikat buruh, akademisi, dan masyarakat sipil dari beberapa negara di Eropa.

Dari sini, saya menemukan lagi bukti, salah urus sumber daya alam, gaya hidup modern dan konsumtif di kota, harus dibayar mahal oleh mereka di kampung, seperti yang terjadi di Congo dan Babel.

0 comments: