Thursday, March 6, 2008

Hubungan Antara Hari Kasih Sayang dan Emas

Siti Maemunah, di lansir dalam majalah FORUM, 18 Februari 2008


Sejak lama, perhiasan emas dan berlian dipilih sebagai simbol cinta kasih. Sebab, dalam kondisi apapun, ia tak mudah berubah, baik warna, kilau maupun bentuknya. Itu simbol keabadian. Dan tiap pasangan, tentu mendambakan kasih sayang abadi, tak rusak oleh badai, tak lekang oleh jaman.

Perhiasan Emas ternyata menyimpan sisi gelap, yang tak diketahui pemakainya. Sisi yang jauh dari makna kasih sayang, yang diungkap pasangan kekasih di hari Valentine.

“Buat kisah cintamu bersinar di hari Valentine dan jadikan kenangan manis yang abadi”. Itu bunyi salah satu iklan perhiasan emas dan berlian di satu koran nasional, menyambut peringatan hari Valentine, setiap 14 Februari.

Hari Valentine dikenal sebagai hari kasih sayang. Meski di Indonesia, beberapa kelompok memprotes perayaannya. Tapi hari itu tetap diperingati sebagai hari khusus, untuk saling mencurahkan rasa sayang pada pasangannya atau orang lain, yang mereka sayangi.

Biasanya, itu mereka wujudkan dengan memberi kejutan spesial. Mulai dengan berkirim kartu, makan malam hingga memberi hadiah perhiasan emas dan berlian.

Sayang, tak banyak pasangan yang tahu darimana perhiasan emas dan berlian itu digali. Mereka tak tahu, penggalian emas meninggalkan warisan buruk yang abadi bagi warga sekitar pertambangan.

Harga Emas Sebenarnya

Jika berkunjung ke www.nodirtygold.org, kita akan tahu bagaimana sebuah cincin emas dihasilkan. Ternyata untuk membuatnya, dibuang sedikitnya 20 ton limbah. Di tambang Newmont di Sulawesi Utara misalnya, untuk mendapatkan satu gram emas dibuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing. Belum lagi 5,8 kilogram emisi beracun, berupa 260 gram Timbal, juga 6,1 gram Merkuri dan 3 gram Sianida. Limbah ini kelak, diwariskan kepada penduduk lokal dan lingkungan sekitar.

Pertambangan adalah industri yang beresiko. Perusahaan tambang menggunakan bahan kimia Merkuri dan Sianida untuk memisahkan emas dari bijih batuan. Pencemaran oleh dua bahan kimia tersebut sangatlah berbahaya. Sianida seukuran biji beras saja, bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air bisa fatal bagi ikan.

Satariah, perempuan dayak Siang Bakumpai sudah merasakan daya rusak itu.Ia tinggal di desa Oreng Puruk Cahu Kalimantan Tengah. Ia punya ladang di tanah adat, luasnya sekitar 15 hektar. Hasil panen ladang ini cukup untuk menutup kebutuhan pangan setahun, malah kadang berlebih. Sejak perusahaan tambang emas skala besar – PT Indo Muro Kencana (IMK) dari Australia datang pada1986, semuanya berubah.

Awalnya, perusahaan dibantu aparat pemerintah setempat merampas tanah Satariah dan warga lainnya. luas ladang keluarganya tersisa tak kurang dari satu hektar. Akibatnya buruk. Panen padi tak cukup lagi untuk dimakan harian. Tiap bulan, untuk makan keluarganya yang lebih selusin itu, ia harus membeli beras tambahan, sedikitnya 3 karung.

Tak hanya itu, sungai besar yang mengalir disana tercemar limbah perusahaan. Sejak air sungai berubah keruh, ikan susah ditangkap. Sebelum itu, Satariah dapat memasak ikan segar tiap hari, untuk keluarganya. Sekarang jika mereka ingin makan ikan, ia harus membeli ikan asin.

Urusan mandi dan minum tak kalah sulit. Untuk mendapat air bersih, Satariah harus berjalan jauh. Ia tak mau keluarganya celaka, seperti ternak peliharaannya. Pada suatu hari, dua ekor kerbaunya ditemukan mati di pinggir sungai, pada saat air sungai berubah warnanya menjadi putih. Kerbau itu biasa merumput di tepi sungai dan meminum air sungai.

Tak hanya Satariah, Di teluk Buyat Sulawesi Utara, Surtini, perempuan Buyat pante ini juga jatuh bangun setelah PT Newmont, membuka tambangnya. ”Kami terpaksa menggunakan satu-satunya sumber air, yaitu sungai Buyat, yang berlumpur dan tercemar untuk mandi dan mencuci. Dulunya, air itu bening dan bisa dikonsumsi. Sekarang, kebutuhan air minum dipasok PT Newmont”, tutur Surtini sebelum memutuskan pindah dari kampungnya. Celakanya, ia tak tahu air tersebut terkontaminasi logam berat Arsen. Ia dan warga disana baru tahu setelah pemerintah pusat melakukan penelitian.

Newmont mengakhiri tambangnya lima tahun lalu, meninggalkan lubang-lubang raksasa bekas galian di kawasan perbukitan dan lebih 5 juta ton limbah tailing di teluk Buyat.

Saat ini, harga sebuah perhiasan cincin emas seberat 10 gram sekitar Rp. 2 juta. Itukah harga emas aslinya? Ternyata itu bukanlah harga sebenarnya. Harga aslinya, dibayar oleh pemiskinan penduduk lokal dan kerusakan lingkungan di sekitar logam itu digali. Dan kejadian ini tak cuma ada di Indonesia.

Di Charopampa Peru, ada 400 orang keracunan tumpahan Merkuri tambang emas milik Newmont. Di Philipina, ada 200 juta ton tailing dibuang ke teluk Calancan pulau Marinduke oleh Placerdome dari Kanada, selama 16 tahun. Di Papua Nugini, sepanjang 200 kilometer sungai Ok Tedi dan sungai Fly tercemar limbah tambang emas BHPBiliton dari Australia. Di Rumania, delapan tahun lalu, ada sekitar 120 ribu limbah beracun tambang emas Baia Mare tumpah dan berakibat buruk. Ia mencemari air minum sekitar 2,5 juta penduduk dan membunuh 1.200 ton ikan.

Bicara perhiasan, tentu tak lepas dengan perempuan. Merekalah yang banyak menggunakan perhiasan. Ironinya, perempuan juga kelompok yang paling rentan menerima dampak daya rusak pertambangan. Salah satunya dalam bentuk pelecehan dan kekerasan seksual.

Sayang, kasus yang ditangani Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak tahun 2000 itu, tak pernah sampai ke meja hijau. Pada 2002, perusahaan bersedia melakukan negosiasi dan setuju memberi ganti rugi kepada korban perkosaan. Angka ganti kerugian paling tinggi yang diterima para korban sebesar Rp. 18 juta. Di Media lokal, perusahaan memberitakannya sebagai santunan.

Sungguh, ternyata harga emas sangat mahal bagi penduduk dan lingkungan sekitarnya. Padahal, jika direnungkan mendalam, tambang emas bukanlah industri yang penting. Ia tak sepenting industri makanan bahkan industri kertas, yang menghasilkan barang kebutuhan sehari-hari.

Diramalkan, sepanjang 1995 hingga 2015, separuh dari produk emas yang diproduksi digali dari wilayah kelola masyarakat adat. Bisa dibayangkan, banyak lagi cerita pilu macam Satariah akan muncul.

Kemilau perhiasan emas ternyata menyimpan sisi kotor dan gelap, yang tak diketahui pemakainya. Sisi yang jauh dari makna kasih sayang, yang diungkap pasangan kekasih di hari Valentine.



0 comments: